Park Gunwook tahu betul bahwa menjadi prefect alias Ketua OSIS berarti memiliki tanggung jawab yang begitu besar. Terutama ketika dia harus berurusan dengan senior yang berada satu tingkat diatasnya. Ia tahu hirarki umur yang membuatnya harus bersikap sopan, tapi Gunwook cukup tidak habis pikir bagaimana ada kasta yang terbuat berdasarkan kekayaan dan kebaikan orang tua mereka.
Hari ini Park Gunwook harus berurusan dengan dua senior sekolahnya. Lagi-lagi dua nama yang bahkan Gunwook sudah bosan mendengar dari para guru atau bisikan gosip murid-murid. Kim Gyuvin, putra seorang Menteri dan Ricky Shen, putra pasangan pengusaha kaya raya dari negeri tirai bambu.
Lelaki itu berdiri di depan pintu ruangan yang konon katanya seharusnya menjadi milik prefect dan para anggotanya untuk mengadakan rapat. Entah apa yang terjadi di masa lalu hingga ruangan itu kini menjadi ruang bersantai untuk anak-anak berkuasa seperti Gyuvin dan Ricky. Yang pasti saat itu terjadi, baik Gunwook atau dua orang yang kini terlihat bercumbu (karena Gunwook mengintip) jelas belum bersekolah di sini.
Gunwook mendesis. Antara malas melihat pemandangan tidak pantas itu atau malah tergugah karena lewat intipan dia bisa melihat bagaimana panasnya cumbuan kedua senior itu. Belum lagi kini Ricky terduduk dipangkuan Gyuvin, meremat rambut hitam milik kekasihnya.
Gunwook akhirnya tersadar dan mengetuk pintu dua kali. Berharap keduanya akan menghentikan cumbuan walau berat hati. Karena bagaimanapun Gunwook juga tidak ingin disini. Hanya karena dia prefect saja makanya dia mau kemari.
“Hai, ganteng.”
Ricky adalah orang yang membuka pintu sambil tersenyum. Lehernya terekspos dan memiliki bekas kemerahan. Gunwook mengalihkan pandang kebawah namun saat melakukannya malah menemukan fakta bahwa kancing kemeja Ricky terbuka begitu kebawah. Membelah, menunjukan dadanya yang putih berhias bekas kemerahan lainnya.
Gunwook menatap Ricky, “maaf karena sudah mengganggu waktunya. Kakak dan Kak Gyuvin dipanggil ke ruang kepala sekolah, tolong kerjasamanya untuk ikut saya.”
“Oh ya?” Ricky bertanya seperti tidak tahu apa yang dia dan kekasihnya lakukan sebelumnya. Sebenarnya menurut pria kelahiran Shanghai itu perlakuan dia dan Gyuvin terhadap satu sama lain tidak begitu parah. Bercumbu, meremas bagian tubuh satu sama lain, mengecup atau mungkin tidur bersama di ruang kesehatan. Baginya, orang-orang yang menegur hanya sekelompok orang kesepian yang tidak memiliki cinta.
“Menurut kamu, pantes nggak kalau aku showing up like this?” Ricky bertanya kepada Gunwook sambil memamerkan tattoo lehernya yang dihiasi tanda kepemilikan Gyuvin.
Pake nanya lagi lo, Gunwook rasanya ingin berkata nyalang seperti itu, tapi tidak bisa. Murid sekolah walau berumur legal tapi bertattoo saja sudah aneh. Seharusnya setidaknya ditutupi plester atau apapun itu.
“Kurang pantas kak.”
“Mau bantu nutupin nggak? I don’t mind to have more hickeys from you.” Ricky berkata centil sambil menepuk pundak Gunwook sekali.
Jemarinya hampir meraba ke leher Gunwook kalau saja Gyuvin tidak datang dan menegur,“Kim Ricky.” Ricky langsung menurunkan jemarinya. Ia menerima rangkulan dari kekasihnya yang kemudian mengecup bibir Ricky tanpa malu padahal di depan mereka ada Gunwook yang sedang berdiri. “Ada urusan apa, prefect?”
Gunwook menghela napas. “Kakak berdua diminta ke ruang kepala sekolah. Sekarang.”
Gyuvin mengangguk-angguk, menurunkan rangkulan pada bahu kekasihnya menjadi pada pinggang ramping milik Ricky. “Kita kesana nanti. Karena jujur, lo dateng disaat yang gak tepat sama sekali, wook.”
Gunwook tahu itu. Terlihat jelas kok, dari pakaian keduanya yang berantakan. Apalagi dia ‘kan memang mengintip sebelumnya.
“Sorry,” kata prefect apa adanya. “Dalam waktu duapuluh menit ya?”
Gyuvin beralih kepada Ricky sambil mendempetkan tubuh yang lebih tua padanya. “Yah, nggak bisa nggenjot kamu dong sayang?”
“Gyuvin!” Ricky memerah bagai stroberi matang yang manis. Ia memukul Gyuvin pelan dan mendapatkan balasan tawa dari yang lebih muda. “Yaudah wook, thanks infonya. Lo bisa pergi, atau boleh masuk misal mau jadi penonton.”
Sebagai putra dari seorang jendral, tentu saja Gunwook bisa masuk ke ruangan eksklusif itu. Bergabung dengan para penguasa sekolah karena sejatinya dia juga pantas mengingat keluarganya cukup berada dan ayahnya adalah orang penting. Tapi dia menolak. Mana mungkin dia menjadi penonton aksi mesum dua orang ini? Gunwook tidak berminat.
“Skip dulu, kak.”
Dua senior itu memaklumi. Mereka menutup pintu ruangan dan meninggalkan Gunwook masih berdiri tegap di depan pintu. Yang merupakan prefect mendengar pintu selanjutnya dikunci, tirai yang sedikit terbuka mulai ditutup karena sepertinya menyadari bahwa mereka bisa saja diintip dari luar.
Setelahnya Gunwook benar-benar pergi. Kata-kata yang samar Gunwook dengar adalah suara Gyuvin yang berkata kepada Ricky, “kamu kok genit banget sih?”
Ricky tertawa melihat reaksi Gyuvin yang tidak senang atas keramahan-nya kepada adik kelas mereka. Ia melirik kearah pintu, “kayaknya Gunwook udah pergi ya?”
“Masih nyariin?”
“Enggak, cuma nanya kok.” Ricky meraih leher Gyuvin dan memeluknya. Membiarkan yang lebih muda merengkuh pinggang rampingnya sambil menelusupkan jemari pada kemeja Ricky yang sengaja dikeluarkan dari celana.
“Kamu ngerasa cukup nggak sih, sama aku yang?”
Ricky menyatukan bibir mereka sebagai jawaban, ia merasakan bagaimana Gyuvin tersenyum dalam kegiatan mereka dan sesungguhnya Ricky masih tidak terbiasa dengan kekuatan serta kestabilan kekasihnya sehingga bisa menggendongnya seperti koala. Kedua kakinya ia peluk ke pinggang Gyuvin dan pelukan tangan pada leher si lelaki Virgo ia rapatkan seraya dengan cumbu yang memanas.
Gyuvin menahan bokong Ricky dengan satu tangan dan satu tangan yang lain menelusupkan jemari ke area dada Ricky dan membuat yang lebih tua terkejut. Tangan Gyuvin begitu besar dan dingin. Kontras dengan miliknya yang menghangat dan sensitif. Kemudian Ricky dibuat duduk di sofa panjang berwarna oranye oleh kekasihnya dan perlahan melepaskan pelukannya.
“Breath, baby.” Ucap Gyuvin sambil ikut duduk. Ia menerima kedua kaki Ricky diatas pahanya dan memberikan Ricky kesempatan untuk bernapas setelah sesi cumbu yang mendebarkan.
“Thank you.”
Gyuvin mengusap puncak kepala kekasihnya, “jangan tawari lehermu untuk siapapun. Aku cemburu, tau.”
Ricky tersenyum dan memeluk Gyuvin seperti kucing manja, “iya, sayang. Maaf, bercandaku kelewatan.”
Menerima permintaan maaf itu, Gyuvin menepuk-nepuk punggung Ricky dan mengecup rambutnya. “Kalau gitu ayo rapih-rapih, kita ketemu kepala sekolah.”
“Om Mingyu?”
“Iya, Om Mingyu.”
Paman dari Kim Gyuvin, Kim Mingyu, adalah alasan mengapa dia santai-santai saja selain karena latar belakang keluarganya yang langsung menjadikannya ada di kasta teratas.
Oh andai prefect dan warga sekolah tahu, mereka mungkin tidak akan terheran-heran begitu jauh mengapa peraturan sekolah seperti tak ada gunanya dimata Kim Gyuvin dan kekasihnya.