Gavin, Raksa dan Hubungan yang Kandas.

Hobi
3 min readAug 1, 2023

--

Gavin benar-benar bersyukur Raksa betulan ada di PIM 1 diantara beberapa bagian Mall tersebut yang dibagi dengan kode angka masing-masing. Ia menemukan Raksa sedang di dekat Lobby dengan mobil yang biasa dikendarai Michelle, teman mereka. Gavin langsung menjalankan mobil melewati, membuat satpam dan beberapa pasang mata disana bingung karena mobil itu baru datang tapi malah langsung ke dekat pintu keluar.

“Makanya dek, nyetir itu yang betul. Saya hampir ketabrak. Untung nggak apa-apa.”

Dengan masih memakai jersey basket yang bawahannya sudah Gavin ganti dengan celana panjang, ia memakirkan mobilnya sementara dipinggir. Gavin turun, menghampiri Raksa yang kini mengelap air matanya dan sedang ditatap oleh pak satpam yang kini geleng-geleng kepala. “Sekali lagi maaf, kalau saya terlalu kasar ya dek.”

“Hai, Raksa. Astaga,” kata Gavin sambil merangkul punggung yang lebih tua. “Ini kenapa pak? Ada korban atau bagaimana?”’

“Masnya kakak adek ini?” Satpam itu membalas, “lain kali bilangin adeknya mas. Nyetir harus hati-hati jangan sampai nabrak. Ini kan pembatas antara jalan-nya kendaraan bermotor sama pejalan kaki. Takutnya malah menabrak orang. Jadi ada korban.”

Gavin meringis. Dia memang terlihat lebih tua daripada Raksa apa bagaimana?

“Maaf ya pak, saya pasti awasi lain kali. Ini kelalaian saya juga nggak nemenin pacar saya ke mall.”

Bapak itu terkejut, Raksa apalagi. Dia langsung menginjak kaki Gavin segera setelah mendengar itu. “Dia emang suka bercanda pak,” Raksa tertawa canggung. “Bukan kok pak. Temen aja ini.”

Pak Satpam ditinggalkan oleh Raksa yang menarik tangan Gavin sambil mendekati lobby. Meninggalkan mobil Michelle yang syukur saja kuncinya sudah diambil oleh Raksa dan mobil Gavin yang memang sudah terparkir. “Kamu tuh ngapain sih, bilang gitu? MALUUUU!”

“Lah, nggak mau diakuin?”

“Mau tapi kan-

Ucapan Raksa terpotong ketika menyadari Michelle, yang tak jauh dari mereka menangis deras dan berusaha menahannya sampai terisak. Ia terjongkok, ponselnya terulur ke depan. Raksa menghampiri gadis itu, dia ikut jongkok dan memegangi sisi kiri dari bahu gadis itu. “Michelle.. michelle nggak papa?”

Michelle mendongak, melihat kearah Raksa dan melihat kehadiran Gavin disana. Dia semakin terisak, “Jor – jordan! Jordan bahkan gak kayak Gavin yang kamu contact langsung kesini. Dia padahal salah, sedangkan Gavin gak ada salah sama kamu, hiks.” Michelle mengusap air matanya dan menarik ingusnya. Dia malu sebenarnya menangis begini di tempat umum, apalagi di saksikan oleh sahabatnya, Raksa, dan kekasih sahabat itu sendiri yang juga mengenal Jordan dengan baik.

Gavin tidak bersuara apa-apa, hanya memasang wajah canggung tanpa sadar. Dia membiarkan Raksa yang berbicara, “Jordan yang brengsek, Michelle. You deserves better.”

“Huhuhu, Raksa.” Michelle dibuat berdiri oleh Raksa, “kamu tenangin diri yuk? Masalah detailnya, kamu bahas lain kali juga nggak masalah.”

“Mau pulang,” kata Michelle. “Tapi bisa dianterin nggak? Aku kayaknya nggak sanggup nyetir.”

“Boleh, gue aja yang nyetir.” Gavin kini bersuara.

“Hah? Vin, kamu kan bawa mobil?”

“Tinggal dulu disini aja. Rumah Michelle kan deket sini, kita anterin. Bertiga ke rumah Michelle.”

Raksa speechless, awalnya dia kira Gavin akan mengantarkan Michelle berdua. Tapi kini malah bersama dirinya juga. “Ayo? Gue harus balik ke sekolah juga soalnya.”

“Emangnya-” Michelle dan ingusnya ia tarik lagi. “Nggak ngerepotin lo?”

“Gue berterimakasih banget lo udah selalu ada buat Raksa. Lo udah baik ke cowok gue. Dan lagi, gue kan temen lo juga chelle. Kita kenal tiga tahun, masa ginian aja gak mau bantu?”

Michelle kini memasang wajah super sedih sekaligus terharu. “Makasih.. makasih banget, temen-temen.”

--

--

No responses yet