Riki menghela napas saat mendapati dibalik punggungnya ada suaminya yang sudah merebahkan diri tengkurap dengan wajah menghadap bantal tanpa mengganti atasan dan bawahan terlebih dulu. Bahkan, kaos kaki Gavin masih melekat di kedua kakinya. Riki membalikkan badan, “mas Gavin.. ganti dulu bajunya. Habis dari luar, lho. Itu bajunya juga sudah kulo siapkan di sofa.”
“Capek..” Gavin berkata dengan suara yang teredam oleh bantal. “Nanti dulu yu.”
“Kalau mas ganti sekarang, ayu pijat.”
Gavin langsung bangkit dari posisinya. Dia menarik dirinya sendiri untuk terduduk, menghadap Riki yang kini terkekeh sambil menopang wajahnya yang semakin cantik hari ke hari. “Semangat sekali kamu mas.”
“Mau dipijet istriku yang cantik masa ngga semangat,” Gavin meregangkan dasinya. Belum selesai melepaskan, sudah dapat teguran dari Riki. “Gantinya sambil berdiri mas, biar cepet.”
“Iya-iya, sayang.”
“Kalau lebih dari tiga menit penawarannya batal.”
“Hah,” Gavin langsung berdiri setelah mendengar penuturan dari yang tercinta. Dia buru-buru melepaskan dasi, membuka seluruh kancing kemejanya yang karena masih baru jadi agak sulit. Riki menganggap yang dia saksikan adalah acara hiburan. Lebih menarik daripada televisi yang sudah menyala sejak tadi karena Riki menonton Drama dari Korea Selatan. Gavin yang panik ketika Riki mengatakan “semenit lagi!” dan langsung mempercepat pelepasan celananya sangat lucu dan membuat Riki tertawa kecil.
Gavin hanya sempat memakai celana pendek yang disiapkan oleh pasangannya, “ngga usah pakai baju ya yu? Kan mau kamu pijet.”
Riki memberikan kelonggaran. “Ya wes, sini.”
Gavin merebahkan diri dan Riki dengan telaten menyiapkan minyak yang akan dia gunakan. Kedua tangannya ia lumuri sedikit dan mulai menyentuh punggung Gavin dengan penekanan perlahan. Riki melirik kearah nakas, melihat jus mangga yang sebelumnya diletakkan Gavin disana. “Itu jus yang mas Gavin beli?”
“Iya, kalau kamu mau minum aja, yu.”
“Ndak ah.” Riki menolak, “nanya tok.”
Katakan Riki labil, tapi ketika Gavin kini merubah posisi menghadapnya dengan punggung bersandar di sandaran kasur dan lengan hingga jemarinya mulai Riki pijat, lalu meminum jus mangganya yang terlihat menyegarkan itu, Riki jadi ingin. “Enak ya mas, jus mangganya?” Si cantik menanyakan itu saat Gavin menyedot untuk terakhir kali karena sudah habis.
“Ya.. enak. Tapi sudah habis,” Gavin menyadari sorot ingin dari Riki. “Kalau kamu mau, mas bisa keluar habis ini beli jusnya juga, ya?”
“Mas Gavin ‘kan capek. Mendingan tidur.” Riki lagi-lagi menolak. Padahal dia sangat ingin jus mangga itu. Saking inginnya saat melirik ke luar, kearah balkon yang memang jendelanya terbuka, Riki kemudian menyeletuk sesuatu.
“Mas, itu pohon mangga punya siapa?”
“Hm?” Gavin menggenggam jemari Riki yang lentik, “Oh. Punya tetangga sebelah, itu rumahnya temenku. Marcello Zhong.”
“Zhong?” Riki merasa asing sekaligus tak asing saat mendengar namanya. Kemudian penjelasan Gavin membuatnya mengangguk-angguk, “Marcello Zhong itu ya yang kamu panggil Kak Marcell itu pas kenalan di resepsi. Dia dan keluarganya memang asli dari China sana, yu. Mungkin memang asing di telinga kamu pas denger marganya. Mereka kalau nggak salah pindah tuh juga baru. Kurang lebih tiga puluh tahun? Sekitar segitu.”
“Itu termasuk lama, ndak sih mas? Berarti temen mas itu lahir disini ya?”
Gavin mengangguk untuk mengiyakan dimana tempat lahir Marcello, “Eh iya juga ya, udah lama.” Gavin baru menyadari, “kenapa kok kamu nanyain pohon mangga mereka?”
“Nggak apa-apa. Nanya aja.”
Tadi sore, Riki berbohong.
Malam ini, dia memandangi gorden yang menutup kaca tembus pandang yang langsung akan memperlihatkan pemandangan di area balkon yang indah sekaligus pohon milik Keluarga Zhong jika gordennya dibuka. Riki masih kepikiran mangga gendut-gendut yang terlihat enak bahkan dari jauh. Pohonnya juga terlihat terawat, terbukti dari pandangan jarak jauh, pohon mangga Keluarga Zhong begitu rindang dan memiliki buah yang banyak.
Riki dipeluk dari belakang oleh Gavin, “Sayang, masih belum tidur?”
Riki hanya mengeluarkan gumam kecil yang dibumbui keraguan. Dia menyentuh lengan Gavin yang melingkar diperutnya dan kini wajah keduanya begitu berdekatan. Gavin memajukan kepalanya hingga bisa menaruh dagunya di pundak Riki. “Ayu?”
“Mas Gavin… pengen jus mangga…”
Jam menunjukkan setengah satu malam dan Riki menginginkan jus mangga.
Yang benar saja.
Walau tak tahu harus mendapat darimana, jawaban yang Gavin berikan sangat mantap demi istrinya. “Mas carikan dulu, ya?”
Saat Gavin ingin menarik tangannya karena ingin beranjak, Riki menahannya. “Jangan.”
“Loh?”
“Aku maunya jus mangga dari rumah Zhong itu..”
Gavin terkekeh kecil, “kamu ngidam, ya?”
“Yaa… ndak tau deh mas. Aku mau itu aja pokoknya.” Riki merengek, “tapi kamu yang harus manjat dan metik sendiri. Mas Gavin bisa ‘kan?”
Gavin ingin mengiyakan, sebab pasti keluarga Zhong akan mengizinkan dia jika Gavin meminta. Tapi perkataan Riki setelahnya langsung membuat dia terdiam. “Tapi mas Gavin jangan bilang-bilang Kak Marcello atau keluarganya.”
“Loh, nyolong la’an yu?”
“Intinya aku mau mas Gavin ngambilnya pertama dari rumah dulu, manjat tembok yang disitu, terus lompat kebawah ke halaman belakangnya yang ada pohon mangganya. Ayu mau liat mas Gavin dari atas balkon manjat pohon mangganya diem-diem ndak ada yang tahu. Terus baru deh, mangganya dibuat jus!”
Gavin hanya bisa tertawa karir (terbawa dari kantornya) sambil berkata, “dek? Bercanda kan?”
“Kalau mas Gavin ndak mau ya wes ra perlu. Ayu ndak bakal mintak-mintak lagi ke mas Gavin.”
“Ayu… ndak gitu sayang,” Gavin mengeratkan pelukannya dan mencium rambut Riki yang wangi stroberi. “Waktu udah ada matahari mas kesana, ya?”
“Serius, mas?”
“Beneran sayang.”
“Yey!”
Yey-nya Riki saat ini adalah pusingnya Gavin.
“Kalau gitu ayo tidur mas.”
“Bentar sayang, aku mau cas hp dulu.”
Diam-diam, Gavin mengontak tetangga rumahnya. Semoga, tuan muda Zhong itu masih belum tidur dan bisa membalas pesannya.